By: Nurul Fauziah
Awalnya tidak begitu ‘ngeh’ dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan Orangutan, namun entah kenapa belakangan ini
Orangutan menyita pikiranku. Mulai dari terungkapnya rahasia seorang
teman baikku yang selama delapan tahun terakhir begitu mengidolakan
Orangutan. Ketahuannya pada waktu kita jalan-jalan ke kebun binatang,
pada saat di kandang Orangutan, temanku ini seperti ada yang memaku
kakinya di depan kandang Orangutan, asli gak bergerak. Setelah puas
memandang Orangutan, aku memanggil temanku itu karena kami harus segera
pulang. Eh, langkahnya menuju gerbang keluar, berat banget, dan dan
setitik demi setitik air hangat mengalir dari matanya, ketika di
introgasi ternyata temanku itu menangis terharu setelah delapan tahun
tidak bertemu dengan Orangutan. What?! (Read more: http://zee-flp.blogspot.com/2012/09/ini-idolaku-mana-idolamu.html)
Apa istimewanya sih Orangutan sampai mampu membuat perempuan
setegar temanku itu menangis haru? Selidik demi selidik, temanku cerita
bahwa di matanya Orangutan itu adalah hewan yang berwibawa dan
bijaksana, lalu tataplah matanya, Orangutan adalah hewan pemilik mata
terpolos di dunia. Menatap mata itu yang membuat temanku menangis haru.
Lalu merasakan lembutnya tangan Orangutan. Saking terobsesinya ia dengan
Orangutan, sejak duduk di bangku SMA, temanku sampai mengumpulkan
aksesoris yang berkaitan dengan Orangutan, mulai dari poster,
mengkliping berita tentang Orangutan, sempat mau menjadi sukarelawan
untuk Orangutan, namun terkendala dibiaya anggota yang cukup mahal buat
ukuran kantong anak sekolah waktu itu.
Yah, itu sekelumit tentang cerita temanku yang
tergila-gila pada Orangutan, sekarang giliranku yang penasaran dengan
kehidupan Orangutan. Penasaranku terobati dengan membaca sebuah novel
yang bertema lingkungan hidup dengan isu penyelamatan satwa langka
Jarang banget novel yang mengangkat tema lingkungan
hidup, padahal salahsatu sumbangsih kita dalam mendukung gerakan yang
positif menyelamatkan lingkungan hidup, adalah dengan menulis. Untuk
ukuran penulis mancanegara, Dr. Seuss misalnya, penulis kisah Lorax,
makhluk imut berbulu yang punya tugas menjaga hutan, dan Maret 2012
difilmkan. Sedangkan versi Indonesia ada duet maut antara Riawani Elyta
dan Shabrina W.S. dengan Ping! A Message from Borneo.
Indonesia, Negara subur yang orang bijak bilang, tongkat saja
bisa tumbuh begitu dilemparkan. Apakah kebanggaan itu masih terasa
membekas dibenak penduduknya yang lebih dari 200juta?
Nasib hutan di Indonesia, jika dikonversikan, dalam satu
menit, luas hutan yang hancur setara dengan luas enam lapangan bola.
Bisa dibayangkan segala keanekaragaman hayati Indonesia yang sedang
dalam ancaman kepunahan akibat hutan yang hancur tiap menitnya, termasuk
kehidupan Orangutan.
Kisah Ping, mencoba membuka mata pembaca betapa sedihnya
menjadi Orangutan yang hidup di Hutan Indonesia. Awal cerita, pembaca
disuguhkan penulis untuk masuk ke dalam suasana hati si Ping, anak
Orangutan yang ‘luka’. Dan kisah pun berlanjut pada seorang mahasiswi
bernama Molly yang tergila-gila pada dunia satwa langka, suatu hari ia
dapat telepon dari Nick, kenalannya saat ia mengunjungi LSM Gerakan
Penyelamatan Satwa Langka (GPSL). Nick adalah mahasiswa program Wildlife
Conservation di University of Chester yang mengambil riset untuk
skripsinya tentang satwa langka di Indonesia. Nick mengabarkan Molly
bahwa ia akan ke BOS (Borneo Orangutan Survival) di Samboja, Kalimantan
Timur. Kontan saja Molly girang bukan main dan ia langsung mengiyakan
tawaran Nick. Petualangan Molly di Borneo pun dimulai.
Dalam petualangannya, Molly tidak berdua saja dengan Nick,
selain Andy adik perempuan Nick yang menemani petualangan Molly, maka
ada Archie, sahabatnya waktu SMA, tiba-tiba muncul dan menawarkan
menjadi guide selama Molly di Kalimantan. Awalnya Molly respect dengan Archie yang kini berbeda, makin ganteng, namun Molly mulai illfeel dengan
sikap Archie yang malah menunjukkan ketidaksukaan terhadap kegemaran
Molly pada keselamatan satwa. Liburan Molly sepertinya akan terancam
tidak menyenangkan akibat sikap Archie, belum lagi Archie yang sama
sekali tidak ramah pada Nick dan tidak punya perikehewanan terhadap
nasib Orangutan yang bisa jadi karena efek usaha kebun sawit ayahnyalah,
dan Archie menganggap masalah Orangutan bukan sesuatu yang penting.
Ya, Ping! A Message from Borneo, lebih dari sekadar kisah
yang mencoba mengirimkan pesan ke pembaca bahwa ‘ini loh nasib
Orangutan’, tapi pembaca diajak menelusuri ke kedalaman perasaan dan
jiwa Orangutan, dalam hal kisah ini, Ping mengenjewantahkan anak
Orangutan yang malang.
Tadinya, Ping hidup bahagia dengan ibu kandungnya, namun ketika Ping
dan ibunya sedang asyik masyuk di atas pohon, seorang pemburu liar
menembak induknya dan mati. Ping diselamatkan oleh induk Orangutan
lainnya. Induk barunya ini punya anak bernama Jong, jadilah Ping dan
Jong sahabat baik, mereka diajarkan buat sarang oleh ibunya Jong,
diajarkan mencari makan, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya,
sampai suatu hari ada anjing mengonggong masuk hutan. Ping ketakutan,
lompat setinggi-tingginya ke pohon tempat ia berada. Ia terpisah dari
Jong dan induk barunya.
Berhari-hari Ping terlunta, tak selera makan tapi harus
makan, buat sarang sendiri apa adanya. Berapa hari kemudian Ping melihat
seonggok tubuh Orangutan besar terlungkup di tanah. Ping yakin itu
induknya tapi setelah Ping mendekat, tubuh itu kaku tak ada tanda-tanda
kehidupan. Ping sedih. Tak berapa lama ada benda bergerak, seperti jala
dan seketika memerangkap dirinya. Ping terjebak. Bagaimana kisah Ping
selanjutnya? Siapa sebenarnya Karro?
Kisah dipaparkan secara bergantian setiap babnya, awal
bab, Ping yang berkisah pada bab berikutnya Molly yang berkisah begitu
seterusnya sampai pada Epilog semua kisah ini terjawab dengan ending sederhana namun tak tertebak. Kalau saya bilang ending Ping: A Message from Borneo adalah novel dalam novel atau kata tagline sebuah iklan minuman, jeruk makan jeruk.
Bukan Pesan Biasa
Ping! A Message from Borneo, adalah novel terbitan Bentang
Belia dan bergenre remaja. Novel ini dinobatkan sebagai juara I dalam
Lomba 30 hari 30 Buku Bentang Belia dan uniknya lagi novel bertemakan
lingkungan hidup ini ditulis oleh dua penulis kece yang tidak pernah
bertemu secara fisik, dan bekerjasama menyelesaikan novel melalu media Facebook dan surel.
Riawani Elyta, penulis yang sudah tidak diragukan lagi
kepiawaiannya menulis fiksi terbukti dari deretan juara menulis yang ia
peroleh dan Shabrina W.S penulis dengan spesialisasi menulis fiksi
fabel. Duet maut penulis dahsyat ini menghasilkan Ping: A Message from
Borneo. Pembaca cerdas tentu bisa membedakan mana part Riawani mana part Shabrina.
Riawani kental dengan kekuatan pendalaman karakter
tokoh-tokohnya yakni Nick, seorang mahasiswa asing, yang meneliti satwa
langka di hutan Kalimantan untuk riset skripsinya, Andy, adik perempuan
Nick yang begitu berambisi menjadi orangtua asuh Orangutan, Molly, gadis
pecinta satwa yang juga penulis, serta Archie, pewaris tunggal dari
usaha kebun sawit ayahnya yang berhektar-hektar di Kalimantan, ganteng
tapi sedikit angkuh.
Dalam hal ini, karakter Molly, cukup warna warni, pas
banget dijadikan karakter utama selain tokoh fabel Ping yang sama-sama
mendominasi kisah ini. Molly selain cinta satwa langka, ia adalah gadis
yatim. Ayahnya seorang penulis yang gagal membawa keluarga mereka hidup
layak dari penghasilan sebagai penulis. Pada halaman 9, ada dialog mama
Molly ‘Terlalu panjang jalan harus ditempuh seorang sastrawan sebelum
akhirnya memiliki kehidupan yang layak dan dihormati. Dan, Mama enggak
mau kamu duluan terlunta-lunta sebelum masa itu datang’. Tadinya sih
saya mau protes ke Mbak Ria, bahwa penulis sekarang tidak sesedih itu
keadaannya, namun saya pikir ulang bahwa, mungkin Mbak Ria ingin
menyampaikan kepada pihak-pihak yang concern kedunia pendidikan dan perbukuan Indonesia agar lebih memperhatikan nasib para penulis Indonesia. (Hehehe, sok tahu saya :D)
Karakter Molly juga oleh Mbak Ria, dideskripsikan sebagai
karakter remaja masa kini yang cerdas, intelektual, namun tidak
kebablasan pergaulan. Hal ini dikisahkan Mbak Ria pada adegan Archie
yang mengajak Molly buat inap di rumah milik Archie selama ia di
Kalimantan, namun Molly menolak ‘siapa yang bisa jamin kalau Archie
justru menyuruh semua pembantunya pulang saat aku menginap?’ (hal.13).
Selain itu ada adegan Archie capai puncak kekesalan karena Molly menolak
diajak jalan-jalan karena Molly lebih pilih untuk agenda memberi susu
pada anak Orangutan. Archie berniat ‘nembak’ Molly, Molly kaget dan
disinilah kepiawaian Mbak Ria dalam menyelipkan pesan ‘Say No to
Pacaran’ sehalus mungkin pada novel ringan ini. Two thumbs up, Mbak!
Itu dari sisi Mbak Ria dengan empat karakter andalannya.
Lalu, bagaimana dengan kebolehan Mbak Brien sapaan akrab Mbak Shabrina
W.S. dengan pendalaman karakter Ping. Sebelumnya, saluuuttt buat Mbak
Brien, eksplorasi jiwa dan perasaan Orangutan pada karakter Ping membuat
saya selaku pembaca secara tak sadar menjadi Orangutan juga HAHAHA.
Mbak Brien, begitu total dan detil terhadap karakter Ping atau
Orangutan. Saya secara tidak langsung, saya jadi tahu segala hal tentang
Orangutan, bahwa 95% DNA Orangutan sama dengan DNA manusia, sehingga
Orangutan bisa bertengkar, usil, menyuap nasi dengan tangan, membelah
buah kelapa dan mencuci baju! (hal.56). Saya juga jadi tahu, induk
Orangutan paling pintar buat sarang dan mereka membuat sarang untuk
sekali pakai. Orang utan juga punya kondisi psikis mirip manusia,
sehingga Orangutan bisa alami kesedihan, stress dan trauma.
Ya, karena misi yang diusung dalam novel ini cukup berat
dan serius yakni: menyelamatkan Orangutan, maka penggarapannya pun
gila-gilaan. Mbak Brien sampai mesti menatap poto Orangutan, mencoba
menempatkan diri menjadi Orangutan, dengan cara ke kebun binatang,
mengobservasinya, poto bareng Orangutan, menggendong anak Orangutan.
Sedangkan untuk habitat Orangutan sendiri, Mbak Brien sampai membuat puzzle peta hutan Kalimantan, pelajari rute-rutenya sehingga dalam tulisannya yang mengisahkan behind the scene Ping! A Message from Borneo, ‘…Maka, berhari-hari saya serasa di Kaltim deh’.
SekePING tentang Orangutan
Ada apa dengan Orangutan? Kenapa jadi sepenting ini?
Orangutan adalah satu-satunya kera besar yang ada di
Asia dan hanya bisa ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Dan
Orangutan spesies Pongo Pygmaeus hidup di Kalimantan dan spesies Pongo
Abelii di Sumatera.
Berita terbaru tentang Orangutan terjadi pada akhir Agustus
silam. Masih segar dalam ingatan tentang pemberitaan Orangutan yang
terbakar. Minggu (26/08) warga berusaha mengusir si Orangutan dengan
membakar pohon kelapa tempat ia bersarang. Peristiwa itu terjadi di Desa Wajok Hilir, Pontianak, Kalimantan Barat.
Itu masih satu berita, belum lagi berita lain yang masih
mungkin ditutupi para penguasa. Berita pembantaian Orangutan demi
meluruskan urusan memperluas kebun sawit dengan cara meracuni Orangutan
dengan menebar pisang beracun, mengubur Orangutan hidup-hidup, dibakar,
dibacok, belum lagi penjualan illegal anak Orangutan ke mancanegara,
penjualan daging Orangutan. Kejam dan sadis.
Menurut Jamartin Sihite, Presiden Direktur Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI), Orangutan adalah umbrella species, makhluk yang hidup di atas pohon yang mempengaruhi kehidupan di bawahnya.
Sesuai dengan namanya Orangutan, hewan ini adalah penjaga
hutan sejati, setiap Orangutan butuh areal 100-150 Ha. Hewan pemakan
buah dan biji-bijian ini, saat makan mereka biasanya melempar
biji-bijian dan hal tersebut efektif untuk regenerasi hutan.
Sore harinya, Orangutan membuat sarang dari dahan-dahan pohon yang
mereka peroleh dengan memetik dahan yang ada, saat kegiatan ini
berlangsung tentu melompat dari satu pohon ke pohon lain cukup membantu
membuka lebatnya kanopi daun-daun pohon dan memudahkan sinar matahari
masuk ke tanaman paling bawah dan berfungsi dalam proses fotosintesis.
Indonesia belum ada data pasti tentang populasi Orangutan,
justru data yang ada malah diperoleh dari lembaga nonpemerintah seperti
dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan NGO. Selain itu, Orangutan adalah
hewan yang paling dilindungi di Indonesia, tapi (lagi-lagi) justru malah
satwa langka ini dapat perhatian dan simpati lebih dari dunia
internasional. Ironis.
Mari sama-sama mengkampanyekan misi menyelamatkan
Orangutan dengan cara aktif di LSM tentang lingkungan hidup, menjadi
Sahabat Orangutan di komunitas WWF dan di komunitas lain yang sama-sama
menyuarakan penyelamatan Orangutan, melihat penangkaran Orangutan live
di BOS, menulis artikel tentang Orangutan, atau menjadi orangtua asuh
dan tindakan kecil lainnya yang berefek luas dan jangka panjang.
‘Kita memang tidak tinggal di masa lalu, tapi ada harta
terindah yang kita bawa dari sana, yang bisa kita ceritakan
berulang-ulang sepanjang ruas jalan kita’.
Ah, gak kebayang jika di masa depan, hanya mampu memandang
Orangutan dari kerangka tulang kaku, dan dari poto-poto tak bernyawa.
Mata polos itu…
Jadi ingin menggendong anak Orangutan atau malah mengadopsinya :D
Ping! A Message from Borneo sebuah novel yang high recommended
buat remaja dan dewasa, dengan gaya penceritaan yang ringan, alur yang
mengalir, mengajak remaja untuk lebih peduli pada lingkungan, dan kisah
Molly yang juga penulis, bisa memotivasi penulis remaja untuk tetap
semangat menulis, overall, hampir tak ada celah. Celahnya,
mungkin pada judul, penasaran kenapa judulnya mesti bahasa Inggris, apa
karena tuntutan misi, bahwa novel ini harus dibaca masyarakat dunia
untuk mengabarkan pesan Ping? atau biar bermakna universal? Apapun itu,
this is a must read novel. Happy Reading all !
Yang lebih lengkap ada di sini nih :)
Rabu, 24 Oktober 2012
Selasa, 23 Oktober 2012
Pemenang Resensi PING: Sari Yulianti
Di zaman teknologi sekarang ini, ping boleh jadi diartikan sebagai
sebuah alert bagi para pengguna smartphone Blackberry. Lantas, apakah
novel dengan judul Ping! a Message From Borneo ini mengadaptasi bunyi
ping pada Blackberry Messenger? Entah. Yang pasti, duo penulis peraih
juara pertama lomba novel 30 Hari 30 Buku Bentang Belia ini memang
berhasil memberikan peringatan tentang konservasi alam dan satwa langka
melalui bacaan ringan khas remaja ini.
Berkisah tentang dua tokoh utama, Ping dan Molly, yang dipertemukan dalam sebuah kawasan konservasi orangutan di Samboja, Kalimantan Timur. Ping adalah orangutan yang harus berpisah dengan ibunya setelah tembakan pemburu liar bertubi-tubi mengenai tubuh sang bunda. Ping kemudian diselamatkan Jong dan memulai kehidupan baru bersama Jong dan ibunya. Ping memanggilnya Ibu.
Sayang, belum sempat ia bangkit dari kesedihan sepeninggal perpisahannya dengan sang bunda, Ping harus kembali mengukir luka setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ibu, orangutan yang menyayanginya seperti anaknya sendiri, terkapar tak berdaya. Ping sendiri yang berusaha menolong Ibu justru ikut terkena perangkap para pemburu liar. Ping dimasukkan ke kardus dengan lubang udara yang sempit. Ia siap dijual.
Ping yang selamat dari upaya jual beli satwa langka kemudian dibawa ke Samboja. Di sanalah, untuk pertama kalinya, ia bertemu Molly, Si Mata Bening yang memiliki ketertarikan yang tinggi pada kegiatan konservasi alam dan tulis menulis. Bersama Nick dan Andy, dua bule yang memiliki minat yang sama dengan Molly, mereka belajar banyak hal tentang keberadaan orangutan yang kian terancam akibat semakin sempitnya hutan tempat orangutan tinggal. Dan menjadi kian rumit karena masyarakat lebih menyukai hutan tersebut diubah menjadi lahan kelapa sawit yang secara instan lebih memiliki nilai jual.
Apakah Ping mampu mengatasi depresinya yang berkepanjangan? Akankah Molly, dengan sumbangan tulisannya, juga mampu menggugah orang lain, termasuk Archie sahabatnya, untuk lebih aware terhadap nasib hutan dan orangutan di Kalimantan?
189 halaman novel ini memang terlalu sedikit untuk memperdalam konflik yang terjalin di dalamnya. Seberapa pentingnya melestarikan orangutan, undang-undang apa yang melindungi satwa langka tersebut, apa saja sangsi yang didapat para pemburu dan pembalak liar, serta bagaimana masyarakat bisa turut serta berperan dalam konservasi orangutan, mungkin hal tersebut dapat disertakan ke dalam konflik yang ada.
Namun, secara umum, pesan dalam novel ini tersampaikan dengan baik lewat penuturan yang seadanya dan apa adanya. Riawani Elyta mampu membuat alur cerita Molly yang sederhana menjadi penuh kesan. Ending-nya pun begitu manis. Shabrina WS sendiri yang dikenal piawai dalam menulis cerita fabel memberikan sentuhan lembut pada karakter Ping yang menyimpan segenggam luka.
Oh, saya menyukai bagian ketika Ping menggambarkan kondisinya serta lingkungan sekitarnya sesuai dengan nalar yang terasa dekat dengan kehidupan orangutan: rasa sepi yang digambarkan seperti tertusuk duri-duri salak hutan (hal. 71), atau rangkaian peristiwa yang dialaminya seperti sulur-sulur yang saling berkaitan (hal. 126). Manis sekali.
Satu hal yang bagi saya agak janggal -dan ini mungkin terlalu teknis- yaitu tentang Molly yang membawa travel bag ke Kalimantan (hal. 35). Aneh. Karena dalam novel ini, Molly digambarkan sebagai seseorang yang pernah aktif di LSM Gerakan Penyelamatan Satwa Langka (GSPL). Setidaknya, ia tahu bahwa ransel/backpack lebih cocok dibawa ke lapangan dibanding travel bag. Oya, satu lagi, baru kali ini saya menemukan seseorang yang memakai piyama sebagai pakaian tidurnya saat berada di basecamp (hal. 80). Rapi banget ^^v
Terakhir, salut untuk misi yang dibawa oleh dua penulis yang tak pernah bersitatap secara langsung ini. Sejujurnya, saya merinding sejak pertama kali membaca ucapak terima kasih di halaman pembuka novel tersebut. Betapa upaya konservasi alam dan satwa langka sesungguhnya dapat dilakukan oleh siapa saja dengan metode apapun. Meski mereka bukan lulusan Biologi, meski tak pernah sekalipun menjejak Kalimantan -ah, saya sungguh tertohok pada bagian ini-.
Seperti segmentasi yang memang diharapkan di awal, semoga buku ini memang menjadi bacaan yang mengesankan bagi remaja-remaja di penjuru Indonesia. Hingga membuka kembali ruang-ruang berpikir mereka, agar tak melulu membahas cinta, boyband, atau sekadar menari a la Gangnam Style.
Atau bisa juga lihat di sini ya :)
Berkisah tentang dua tokoh utama, Ping dan Molly, yang dipertemukan dalam sebuah kawasan konservasi orangutan di Samboja, Kalimantan Timur. Ping adalah orangutan yang harus berpisah dengan ibunya setelah tembakan pemburu liar bertubi-tubi mengenai tubuh sang bunda. Ping kemudian diselamatkan Jong dan memulai kehidupan baru bersama Jong dan ibunya. Ping memanggilnya Ibu.
Sayang, belum sempat ia bangkit dari kesedihan sepeninggal perpisahannya dengan sang bunda, Ping harus kembali mengukir luka setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ibu, orangutan yang menyayanginya seperti anaknya sendiri, terkapar tak berdaya. Ping sendiri yang berusaha menolong Ibu justru ikut terkena perangkap para pemburu liar. Ping dimasukkan ke kardus dengan lubang udara yang sempit. Ia siap dijual.
Ping yang selamat dari upaya jual beli satwa langka kemudian dibawa ke Samboja. Di sanalah, untuk pertama kalinya, ia bertemu Molly, Si Mata Bening yang memiliki ketertarikan yang tinggi pada kegiatan konservasi alam dan tulis menulis. Bersama Nick dan Andy, dua bule yang memiliki minat yang sama dengan Molly, mereka belajar banyak hal tentang keberadaan orangutan yang kian terancam akibat semakin sempitnya hutan tempat orangutan tinggal. Dan menjadi kian rumit karena masyarakat lebih menyukai hutan tersebut diubah menjadi lahan kelapa sawit yang secara instan lebih memiliki nilai jual.
Apakah Ping mampu mengatasi depresinya yang berkepanjangan? Akankah Molly, dengan sumbangan tulisannya, juga mampu menggugah orang lain, termasuk Archie sahabatnya, untuk lebih aware terhadap nasib hutan dan orangutan di Kalimantan?
189 halaman novel ini memang terlalu sedikit untuk memperdalam konflik yang terjalin di dalamnya. Seberapa pentingnya melestarikan orangutan, undang-undang apa yang melindungi satwa langka tersebut, apa saja sangsi yang didapat para pemburu dan pembalak liar, serta bagaimana masyarakat bisa turut serta berperan dalam konservasi orangutan, mungkin hal tersebut dapat disertakan ke dalam konflik yang ada.
Namun, secara umum, pesan dalam novel ini tersampaikan dengan baik lewat penuturan yang seadanya dan apa adanya. Riawani Elyta mampu membuat alur cerita Molly yang sederhana menjadi penuh kesan. Ending-nya pun begitu manis. Shabrina WS sendiri yang dikenal piawai dalam menulis cerita fabel memberikan sentuhan lembut pada karakter Ping yang menyimpan segenggam luka.
Oh, saya menyukai bagian ketika Ping menggambarkan kondisinya serta lingkungan sekitarnya sesuai dengan nalar yang terasa dekat dengan kehidupan orangutan: rasa sepi yang digambarkan seperti tertusuk duri-duri salak hutan (hal. 71), atau rangkaian peristiwa yang dialaminya seperti sulur-sulur yang saling berkaitan (hal. 126). Manis sekali.
Satu hal yang bagi saya agak janggal -dan ini mungkin terlalu teknis- yaitu tentang Molly yang membawa travel bag ke Kalimantan (hal. 35). Aneh. Karena dalam novel ini, Molly digambarkan sebagai seseorang yang pernah aktif di LSM Gerakan Penyelamatan Satwa Langka (GSPL). Setidaknya, ia tahu bahwa ransel/backpack lebih cocok dibawa ke lapangan dibanding travel bag. Oya, satu lagi, baru kali ini saya menemukan seseorang yang memakai piyama sebagai pakaian tidurnya saat berada di basecamp (hal. 80). Rapi banget ^^v
Terakhir, salut untuk misi yang dibawa oleh dua penulis yang tak pernah bersitatap secara langsung ini. Sejujurnya, saya merinding sejak pertama kali membaca ucapak terima kasih di halaman pembuka novel tersebut. Betapa upaya konservasi alam dan satwa langka sesungguhnya dapat dilakukan oleh siapa saja dengan metode apapun. Meski mereka bukan lulusan Biologi, meski tak pernah sekalipun menjejak Kalimantan -ah, saya sungguh tertohok pada bagian ini-.
Seperti segmentasi yang memang diharapkan di awal, semoga buku ini memang menjadi bacaan yang mengesankan bagi remaja-remaja di penjuru Indonesia. Hingga membuka kembali ruang-ruang berpikir mereka, agar tak melulu membahas cinta, boyband, atau sekadar menari a la Gangnam Style.
Atau bisa juga lihat di sini ya :)
Langganan:
Postingan (Atom)