Selasa, 01 Januari 2013

PING: Novel Tak Terlupakan Review Ella Shofa

Membaca buku cerita remaja yang satu ini membawa saya seakan sedang memasuki dunia petualangan layaknya cerita di pulau Kirrin dalam novel karya Enid Blyton yang dulu sering membuat saya takjub.  Saya lebih suka menyebut ”Ping! a Message from Borneo “ sebagai  novel detektif remaja daripada novel cinta. Walaupun novel ini juga memenuhi kriteria sebagai novel teenlit dengan  cerita khas yang biasanya tak lepas dari pengalaman ABG dalam menjalani kisah cinta yang ringan. Jadi membaca novel ini laksana menikmati hidangan rujak cingur yang komplit. Protein ada, serat serta vitamin juga tak kurang.
                    Hal istimewa yang sangat berbeda dengan novel kebanyakan adalah, ada dua penulis dengan jalan cerita serta gaya penulisannya sendiri dalam novel ini. Shabrina Ws dengan penuturan khas fabelnya yang menguras air mata, serta Riawany Elyta  dengan kelincahan mempermainkan susunan kalimat dengan ciri khasnya sendiri mampu menyuguhkan satu paket cerita tak biasa yang meninggalkan kesan mendalam serta pesan edukatif setelah membacanya.
Ada dua POV orang pertama dalam buku ini, yaitu tokoh Ping, seekor orangutan yang mengalami beberapa kali kisah kehilangan orangutan-orangutan terdekatnya, serta Molly, seorang gadis pecinta petualangan. Kehilangan ibu kandung dengan cara mengenaskan membuat Ping menangis pilu. Ia kembali menemukan kebahagiaannya saat menemukan ibu dan saudara angkat yang mencintainya dengan segenap kasih sayang hingga ia beranjak besar. Namun kisah sedih itu kembali datang serta meninggalkan trauma lebih parah saat ibunya terbunuh dengan cara sadis serta saudaranya tiba-tiba menghilang. Pada kisah petualangan Molly, aroma khas teenlit terlihat saat Molly bertemu kembali dengan seorang teman lamanya saat berpetualang bersama dua sahabatnya di tanah Borneo. Dengan alur yang berjalan sendiri-sendiri, kita akan menemukan titik temu antara perjalanan Ping dengan petualangan Molly hingga pertemuan mereka yang sedikit banyak telah membantu Ping sembuh dari trauma psikisnya. Namun pertemuan itu tak lama. Mereka berpisah dan melanjutkan hidup masing-masing.  Lalu bagaimana dengan kelanjutan hubungan Molly dengan teman lamanya yang ternyata anak pengsaha kelapa sawit? Apa hubungannya usaha kelapa sawit itu dengan pemburuan orangutan besar-besaran yang terjadi di tanah hutan kalimantan? Mengapa Molly bersikeras untuk tak mau pacaran? Konflik-konflik dari ringan hingga berat mengalir dengan lancar dan mudah dicerna.
                     Membuat novel seperti ini tentu tak bisa sekedar menghayal dan mengira-ngira. Perlu survei serta pengumpulan data yang tak sederhana sebelum novel ini ditulis, begitu penuturan salah satu penulisnya. Dengan penggabungan yang klop dua karya dari dua penulis yang telah makan asam garam ini, maka pantaslah jika novel ini memenangkan lomba yang diadakan penerbit besar Bentang Media. Dan sangat pas jika seorang Dee bersedia menuliskan beberapa larik kalimat sebagai apresiasi sekaligus endorsement di sampul novel ciamik ini. Hanya satu pertanyaan yang tertinggal di benak saya setelah sempat membaca di beberapa bab secara berulang, yaitu: sebenarnya Molly bertemu Ping berapa kali? Satu atau dua kali? Tapi, selain pertanyaan itu, komentar saya bisa terhimpun dalam satu kalimat: Novel ini tak terlupakan!

Judul Buku: Ping! a Message from Borneo
Penulis: Riawani Elyta dan Shabrina WS.
Penerbit: Bentang Belia

Rabu, 24 Oktober 2012

(Pemenang Resensi PING) Ping: Kisah Anak Orangutan yang Malang

By: Nurul Fauziah
 
Awalnya tidak begitu ‘ngeh’ dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Orangutan, namun entah kenapa belakangan ini Orangutan menyita pikiranku. Mulai dari terungkapnya rahasia seorang teman baikku yang selama delapan tahun terakhir begitu mengidolakan Orangutan. Ketahuannya pada waktu kita jalan-jalan ke kebun binatang, pada saat di kandang Orangutan, temanku ini seperti ada yang memaku kakinya di depan kandang Orangutan, asli gak bergerak. Setelah puas memandang Orangutan, aku memanggil temanku itu karena kami harus segera pulang. Eh, langkahnya menuju gerbang keluar, berat banget, dan dan setitik demi setitik air hangat mengalir dari matanya, ketika di introgasi ternyata temanku itu menangis terharu setelah delapan tahun tidak bertemu dengan Orangutan. What?! (Read more: http://zee-flp.blogspot.com/2012/09/ini-idolaku-mana-idolamu.html)


Apa istimewanya sih Orangutan sampai mampu membuat perempuan setegar temanku itu menangis haru? Selidik demi selidik, temanku cerita bahwa di matanya Orangutan itu adalah hewan yang berwibawa dan bijaksana, lalu tataplah matanya, Orangutan adalah hewan pemilik mata terpolos di dunia. Menatap mata itu yang membuat temanku menangis haru. Lalu merasakan lembutnya tangan Orangutan. Saking terobsesinya ia dengan Orangutan, sejak duduk di bangku SMA, temanku sampai mengumpulkan aksesoris yang berkaitan dengan Orangutan, mulai dari poster, mengkliping berita tentang Orangutan, sempat mau menjadi sukarelawan untuk Orangutan, namun terkendala dibiaya anggota yang cukup mahal buat ukuran kantong anak sekolah waktu itu.
            Yah, itu sekelumit tentang cerita temanku yang tergila-gila pada Orangutan, sekarang giliranku yang penasaran dengan kehidupan Orangutan. Penasaranku terobati dengan membaca sebuah novel yang bertema lingkungan hidup dengan isu penyelamatan satwa langka
            Jarang banget novel yang mengangkat tema lingkungan hidup, padahal salahsatu sumbangsih kita dalam mendukung gerakan yang positif menyelamatkan lingkungan hidup, adalah dengan menulis. Untuk ukuran penulis mancanegara, Dr. Seuss misalnya, penulis kisah Lorax, makhluk imut berbulu yang punya tugas menjaga hutan, dan Maret 2012 difilmkan. Sedangkan versi Indonesia ada duet maut antara Riawani Elyta dan Shabrina W.S. dengan  Ping! A Message from Borneo.


Indonesia, Negara subur yang orang bijak bilang, tongkat saja bisa tumbuh begitu dilemparkan. Apakah kebanggaan itu masih terasa membekas dibenak penduduknya yang lebih dari 200juta?
            Nasib hutan di Indonesia, jika dikonversikan, dalam satu menit, luas hutan yang hancur setara dengan luas enam lapangan bola. Bisa dibayangkan segala keanekaragaman hayati Indonesia yang sedang dalam ancaman kepunahan akibat hutan yang hancur tiap menitnya, termasuk kehidupan Orangutan.        
            Kisah Ping, mencoba membuka mata pembaca betapa sedihnya menjadi Orangutan yang hidup di Hutan Indonesia. Awal cerita, pembaca disuguhkan penulis untuk masuk ke dalam suasana hati si Ping, anak Orangutan yang ‘luka’. Dan kisah pun berlanjut pada seorang mahasiswi bernama Molly yang tergila-gila pada dunia satwa langka, suatu hari ia dapat telepon dari Nick, kenalannya saat ia mengunjungi LSM Gerakan Penyelamatan Satwa Langka (GPSL). Nick adalah mahasiswa program Wildlife Conservation di University of Chester yang mengambil riset untuk skripsinya tentang satwa langka di Indonesia. Nick mengabarkan Molly bahwa ia akan ke BOS (Borneo Orangutan Survival) di Samboja, Kalimantan Timur. Kontan saja Molly girang bukan main dan ia langsung mengiyakan tawaran Nick. Petualangan Molly di Borneo pun dimulai.


Dalam petualangannya, Molly tidak berdua saja dengan Nick, selain Andy adik perempuan Nick yang menemani petualangan Molly, maka ada Archie, sahabatnya waktu SMA, tiba-tiba muncul dan menawarkan menjadi guide selama Molly di Kalimantan. Awalnya Molly respect dengan Archie yang kini berbeda, makin ganteng, namun Molly mulai illfeel dengan sikap Archie yang malah menunjukkan ketidaksukaan terhadap kegemaran Molly pada keselamatan satwa. Liburan Molly sepertinya akan terancam tidak menyenangkan akibat sikap Archie, belum lagi Archie yang sama sekali tidak ramah pada Nick dan tidak punya perikehewanan terhadap nasib Orangutan yang bisa jadi karena efek usaha kebun sawit ayahnyalah, dan Archie menganggap masalah Orangutan bukan sesuatu yang penting.
            Ya, Ping! A Message from Borneo, lebih dari sekadar kisah yang mencoba mengirimkan pesan ke pembaca bahwa ‘ini loh nasib Orangutan’, tapi pembaca diajak menelusuri ke kedalaman perasaan dan jiwa Orangutan, dalam hal kisah ini, Ping mengenjewantahkan anak Orangutan yang malang.
Tadinya, Ping hidup bahagia dengan ibu kandungnya, namun ketika Ping dan ibunya sedang asyik masyuk di atas pohon, seorang pemburu liar menembak induknya dan mati. Ping diselamatkan oleh induk Orangutan lainnya. Induk barunya ini punya anak bernama Jong, jadilah Ping dan Jong sahabat baik, mereka diajarkan buat sarang oleh ibunya Jong, diajarkan mencari makan, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya, sampai suatu hari ada anjing mengonggong masuk hutan. Ping ketakutan, lompat setinggi-tingginya ke pohon tempat ia berada. Ia terpisah dari Jong dan induk barunya.
           Berhari-hari Ping terlunta, tak selera makan tapi harus makan, buat sarang sendiri apa adanya. Berapa hari kemudian Ping melihat seonggok tubuh Orangutan besar terlungkup di tanah. Ping yakin itu induknya tapi setelah Ping mendekat, tubuh itu kaku tak ada tanda-tanda kehidupan. Ping sedih. Tak berapa lama ada benda bergerak, seperti jala dan seketika memerangkap dirinya. Ping terjebak. Bagaimana kisah Ping selanjutnya? Siapa sebenarnya Karro?
            Kisah dipaparkan secara bergantian setiap babnya, awal bab, Ping yang berkisah pada bab berikutnya Molly yang berkisah begitu seterusnya sampai pada Epilog semua kisah ini terjawab dengan ending sederhana namun tak tertebak. Kalau saya bilang ending Ping: A Message from Borneo adalah novel dalam novel atau kata tagline sebuah iklan minuman, jeruk makan jeruk.

Bukan Pesan Biasa
           Ping! A Message from Borneo, adalah novel terbitan Bentang Belia dan bergenre remaja. Novel ini dinobatkan sebagai juara I dalam Lomba 30 hari 30 Buku Bentang Belia dan uniknya lagi novel bertemakan lingkungan hidup ini ditulis oleh dua penulis kece yang tidak pernah bertemu secara fisik, dan bekerjasama menyelesaikan novel melalu media Facebook dan surel.
            Riawani Elyta, penulis yang sudah tidak diragukan lagi kepiawaiannya menulis fiksi terbukti dari deretan juara menulis yang ia peroleh dan Shabrina W.S penulis dengan spesialisasi menulis fiksi fabel. Duet maut penulis dahsyat ini menghasilkan Ping: A Message from Borneo. Pembaca cerdas tentu bisa membedakan mana part Riawani mana part Shabrina.
           Riawani kental dengan kekuatan pendalaman karakter tokoh-tokohnya yakni Nick, seorang mahasiswa asing, yang meneliti satwa langka di hutan Kalimantan untuk riset skripsinya, Andy, adik perempuan Nick yang begitu berambisi menjadi orangtua asuh Orangutan, Molly, gadis pecinta satwa yang juga penulis, serta Archie, pewaris tunggal dari usaha kebun sawit ayahnya yang berhektar-hektar di Kalimantan, ganteng tapi sedikit angkuh.
           Dalam hal ini, karakter Molly, cukup warna warni, pas banget dijadikan karakter utama selain tokoh fabel Ping yang sama-sama mendominasi kisah ini. Molly selain cinta satwa langka, ia adalah gadis yatim. Ayahnya seorang penulis yang gagal membawa keluarga mereka hidup layak dari penghasilan sebagai penulis. Pada halaman 9,  ada dialog mama Molly ‘Terlalu panjang jalan harus ditempuh seorang sastrawan sebelum akhirnya memiliki kehidupan yang layak dan dihormati. Dan, Mama enggak mau kamu duluan terlunta-lunta sebelum masa itu datang’. Tadinya sih saya mau protes ke Mbak Ria, bahwa penulis sekarang tidak sesedih itu keadaannya, namun saya pikir ulang bahwa, mungkin Mbak Ria ingin menyampaikan kepada pihak-pihak yang concern kedunia pendidikan dan perbukuan Indonesia agar lebih memperhatikan nasib para penulis Indonesia. (Hehehe, sok tahu saya :D)
          Karakter Molly juga oleh Mbak Ria, dideskripsikan sebagai karakter remaja masa kini yang cerdas, intelektual, namun tidak kebablasan pergaulan. Hal ini dikisahkan Mbak Ria pada adegan Archie yang mengajak Molly buat inap di rumah milik Archie selama ia di Kalimantan, namun Molly menolak ‘siapa yang bisa jamin kalau Archie justru menyuruh semua pembantunya pulang saat aku menginap?’ (hal.13). Selain itu ada adegan Archie capai puncak kekesalan karena Molly menolak diajak jalan-jalan karena Molly lebih pilih untuk agenda memberi susu pada anak Orangutan. Archie berniat ‘nembak’ Molly, Molly kaget dan disinilah kepiawaian Mbak Ria dalam menyelipkan pesan ‘Say No to Pacaran’ sehalus mungkin pada novel ringan ini. Two thumbs up, Mbak!
          Itu dari sisi Mbak Ria dengan empat karakter andalannya. Lalu, bagaimana dengan kebolehan Mbak Brien sapaan akrab Mbak Shabrina W.S. dengan pendalaman karakter Ping. Sebelumnya, saluuuttt buat Mbak Brien, eksplorasi jiwa dan perasaan Orangutan pada karakter Ping membuat saya selaku pembaca secara tak sadar menjadi Orangutan juga HAHAHA. Mbak Brien, begitu total dan detil terhadap karakter Ping atau Orangutan. Saya secara tidak langsung, saya jadi tahu segala hal tentang Orangutan, bahwa 95% DNA Orangutan sama dengan DNA manusia, sehingga Orangutan bisa bertengkar, usil, menyuap nasi dengan tangan, membelah buah kelapa dan mencuci baju! (hal.56). Saya juga jadi tahu, induk Orangutan paling pintar buat sarang dan mereka membuat sarang untuk sekali pakai. Orang utan juga punya kondisi psikis mirip manusia, sehingga Orangutan bisa alami kesedihan, stress dan trauma.
           Ya, karena misi yang diusung dalam novel ini cukup berat dan serius yakni: menyelamatkan Orangutan, maka penggarapannya pun gila-gilaan. Mbak Brien sampai mesti menatap poto Orangutan, mencoba menempatkan diri menjadi Orangutan, dengan cara ke kebun binatang, mengobservasinya, poto bareng Orangutan, menggendong anak Orangutan. Sedangkan untuk habitat Orangutan sendiri, Mbak Brien sampai membuat puzzle peta hutan Kalimantan, pelajari rute-rutenya sehingga dalam tulisannya yang mengisahkan behind the scene Ping! A Message from Borneo, ‘…Maka,  berhari-hari saya serasa di Kaltim deh’.

SekePING tentang Orangutan
          Ada apa dengan Orangutan?  Kenapa jadi sepenting ini?
         Orangutan adalah satu-satunya kera besar yang ada di Asia dan hanya bisa ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Dan Orangutan spesies Pongo Pygmaeus hidup di Kalimantan dan spesies Pongo Abelii di Sumatera. 
Berita terbaru tentang Orangutan terjadi pada akhir Agustus silam. Masih segar dalam ingatan tentang pemberitaan Orangutan yang terbakar. Minggu (26/08) warga berusaha mengusir si Orangutan dengan membakar pohon kelapa tempat ia bersarang.  Peristiwa itu terjadi di Desa Wajok Hilir, Pontianak, Kalimantan Barat.
          Itu masih satu berita, belum lagi berita lain yang masih mungkin ditutupi para penguasa. Berita pembantaian Orangutan demi meluruskan urusan memperluas kebun sawit dengan cara meracuni Orangutan dengan menebar pisang beracun, mengubur Orangutan hidup-hidup, dibakar, dibacok, belum lagi penjualan illegal anak Orangutan ke mancanegara, penjualan daging Orangutan. Kejam dan sadis.
           Menurut Jamartin Sihite, Presiden Direktur Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI), Orangutan adalah umbrella species, makhluk yang hidup di atas pohon yang mempengaruhi kehidupan di bawahnya.
           Sesuai dengan namanya Orangutan, hewan ini adalah penjaga hutan sejati, setiap Orangutan butuh areal 100-150 Ha. Hewan pemakan buah dan biji-bijian ini, saat makan mereka biasanya melempar biji-bijian dan hal tersebut efektif untuk regenerasi hutan.
Sore harinya, Orangutan membuat sarang dari dahan-dahan pohon yang mereka peroleh dengan memetik dahan yang ada, saat kegiatan ini berlangsung tentu melompat dari satu pohon ke pohon lain cukup membantu membuka lebatnya kanopi daun-daun pohon dan memudahkan sinar matahari masuk ke tanaman paling bawah dan berfungsi dalam proses fotosintesis.
           Indonesia belum ada data pasti tentang populasi Orangutan, justru data yang ada malah diperoleh dari lembaga nonpemerintah seperti dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan NGO. Selain itu, Orangutan adalah hewan yang paling dilindungi di Indonesia, tapi (lagi-lagi) justru malah satwa langka ini dapat perhatian dan simpati lebih dari  dunia internasional. Ironis.
            Mari sama-sama mengkampanyekan misi menyelamatkan Orangutan dengan cara aktif di LSM tentang lingkungan hidup, menjadi Sahabat Orangutan di komunitas WWF dan di komunitas lain yang sama-sama menyuarakan penyelamatan Orangutan, melihat penangkaran Orangutan live di BOS, menulis artikel tentang Orangutan, atau menjadi orangtua asuh dan tindakan kecil lainnya yang berefek luas dan jangka panjang.


Kita memang tidak tinggal di masa lalu, tapi ada harta terindah yang kita bawa dari sana, yang bisa kita ceritakan berulang-ulang sepanjang ruas jalan kita’.
           Ah, gak kebayang jika di masa depan, hanya mampu memandang Orangutan dari kerangka tulang kaku, dan dari poto-poto tak bernyawa. Mata polos itu…
            Jadi ingin menggendong anak Orangutan atau malah mengadopsinya :D
            Ping! A Message from Borneo sebuah novel yang high recommended buat remaja dan dewasa, dengan gaya penceritaan yang ringan, alur yang mengalir, mengajak remaja untuk lebih peduli pada lingkungan, dan kisah Molly yang juga penulis, bisa memotivasi penulis remaja untuk tetap semangat menulis, overall, hampir tak ada celah. Celahnya, mungkin pada judul, penasaran kenapa judulnya mesti bahasa Inggris, apa karena tuntutan misi, bahwa novel ini harus dibaca masyarakat dunia untuk mengabarkan pesan Ping? atau biar bermakna universal?  Apapun itu, this is a must read novel. Happy Reading all ! 

Yang lebih lengkap ada di sini nih :)

Selasa, 23 Oktober 2012

Pemenang Resensi PING: Sari Yulianti

Di zaman teknologi sekarang ini, ping boleh jadi diartikan sebagai sebuah alert bagi para pengguna smartphone Blackberry. Lantas, apakah novel dengan judul Ping! a Message From Borneo ini mengadaptasi bunyi ping pada Blackberry Messenger? Entah. Yang pasti, duo penulis peraih juara pertama lomba novel 30 Hari 30 Buku Bentang Belia ini memang berhasil memberikan peringatan tentang konservasi alam dan satwa langka melalui bacaan ringan khas remaja ini.

Berkisah tentang dua tokoh utama, Ping dan Molly, yang dipertemukan dalam sebuah kawasan konservasi orangutan di Samboja, Kalimantan Timur. Ping adalah orangutan yang harus berpisah dengan ibunya setelah tembakan pemburu liar bertubi-tubi mengenai tubuh sang bunda. Ping kemudian diselamatkan Jong dan memulai kehidupan baru bersama Jong dan ibunya. Ping memanggilnya Ibu.

Sayang, belum sempat ia bangkit dari kesedihan sepeninggal perpisahannya dengan sang bunda, Ping harus kembali mengukir luka setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ibu, orangutan yang menyayanginya seperti anaknya sendiri, terkapar tak berdaya. Ping sendiri yang berusaha menolong Ibu justru ikut terkena perangkap para pemburu liar. Ping dimasukkan ke kardus dengan lubang udara yang sempit. Ia siap dijual.

Ping yang selamat dari upaya jual beli satwa langka kemudian dibawa ke Samboja. Di sanalah, untuk pertama kalinya, ia bertemu Molly, Si Mata Bening yang memiliki ketertarikan yang tinggi pada kegiatan konservasi alam dan tulis menulis. Bersama Nick dan Andy, dua bule yang memiliki minat yang sama dengan Molly, mereka belajar banyak hal tentang keberadaan orangutan yang kian terancam akibat semakin sempitnya hutan tempat orangutan tinggal. Dan menjadi kian rumit karena masyarakat lebih menyukai hutan tersebut diubah menjadi lahan kelapa sawit yang secara instan lebih memiliki nilai jual.

Apakah Ping mampu mengatasi depresinya yang berkepanjangan? Akankah Molly, dengan sumbangan tulisannya, juga mampu menggugah orang lain, termasuk Archie sahabatnya, untuk lebih aware terhadap nasib hutan dan orangutan di Kalimantan?

189 halaman novel ini memang terlalu sedikit untuk memperdalam konflik yang terjalin di dalamnya. Seberapa pentingnya melestarikan orangutan, undang-undang apa yang melindungi satwa langka tersebut, apa saja sangsi yang didapat para pemburu dan pembalak liar, serta bagaimana masyarakat bisa turut serta berperan dalam konservasi orangutan, mungkin hal tersebut dapat disertakan ke dalam konflik yang ada.

Namun, secara umum, pesan dalam novel ini tersampaikan dengan baik lewat penuturan yang seadanya dan apa adanya. Riawani Elyta mampu membuat alur cerita Molly yang sederhana menjadi penuh kesan. Ending-nya pun begitu manis. Shabrina WS sendiri yang dikenal piawai dalam menulis cerita fabel memberikan sentuhan lembut pada karakter Ping yang menyimpan segenggam luka.

Oh, saya menyukai bagian ketika Ping menggambarkan kondisinya serta lingkungan sekitarnya sesuai dengan nalar yang terasa dekat dengan kehidupan orangutan: rasa sepi yang digambarkan seperti tertusuk duri-duri salak hutan (hal. 71), atau rangkaian peristiwa yang dialaminya seperti sulur-sulur yang saling berkaitan (hal. 126). Manis sekali.

Satu hal yang bagi saya agak janggal -dan ini mungkin terlalu teknis- yaitu tentang Molly yang membawa travel bag ke Kalimantan (hal. 35). Aneh. Karena dalam novel ini, Molly digambarkan sebagai seseorang yang pernah aktif di LSM Gerakan Penyelamatan Satwa Langka (GSPL). Setidaknya, ia tahu bahwa ransel/backpack lebih cocok dibawa ke lapangan dibanding travel bag. Oya, satu lagi, baru kali ini saya menemukan seseorang yang memakai piyama sebagai pakaian tidurnya saat berada di basecamp (hal. 80). Rapi banget ^^v

Terakhir, salut untuk misi yang dibawa oleh dua penulis yang tak pernah bersitatap secara langsung ini. Sejujurnya, saya merinding sejak pertama kali membaca ucapak terima kasih di halaman pembuka novel tersebut. Betapa upaya konservasi alam dan satwa langka sesungguhnya dapat dilakukan oleh siapa saja dengan metode apapun. Meski mereka bukan lulusan Biologi, meski tak pernah sekalipun menjejak Kalimantan -ah, saya sungguh tertohok pada bagian ini-.

Seperti segmentasi yang memang diharapkan di awal, semoga buku ini memang menjadi bacaan yang mengesankan bagi remaja-remaja di penjuru Indonesia. Hingga membuka kembali ruang-ruang berpikir mereka, agar tak melulu membahas cinta, boyband, atau sekadar menari a la Gangnam Style.

Atau bisa juga lihat di sini ya :)

Sabtu, 29 September 2012

Tips Nulis Duet

Tips nulis novel duet by Riawani Elyta
(Nggak harus jadi patokan sih, ini berdasarkan pengalaman kami aja selama menulis novel PING A Message from Borneo)
  1. Persiapan lebih matang
Kalo nulis solo, terserah mau pake outline ape kagak, dengan sinopsis or langsung bablas nulis, di novel duet kudu disiapin terlebih dulu sinopsis, outline dan sinopsis cerita per bab. Kenapa? Karena disini ada 2 pemikiran, 2 ego, 2 opini dan 2 cara mengkhayal yang harus saling bekerjasama. Untuk itu keduanya harus dikoordinir oleh aturan dasar, yaitu sinopsis dan outline yang memuat gambaran seluruh isi cerita. Ini juga akan lebih menghemat waktu dan memudahkan dalam prosesnya, karena masing2 penulis nggak perlu saling tunggu dan bisa memulai sesuai bagian masing2.
2. Kenali karakter masing-masing
Jika memiliki gaya penulisan yang mirip, nggak ada salahnya untuk nulis novel dengan Pov 3, dimana kedua penulis tinggal membagi tugas antar bab dan bebas untuk menulis karakter tokoh yang mana saja. Tapi kalo beda jauh, sebaiknya menggunakan Pov 1, dimana satu penulis hanya ‘megang’ satu karakter dan tetap konsisten sampe finish. Sebagai referensi bisa membaca novel DJ &JD karya Primadonna Angela dan Syafrina Siregar terbitan GPU, or tentu aja novel ini kalo udah terbit, hehe
3. Disiplin
Kedua penulis harus disiplin mematuhi sinopsis per bab yang udah disusun, kalo mau merubah, jangan sampe terlalu jauh dan tetap terus berkoordinasi. Ibarat orang lari estafet, jika salah satu pelari bergeser dikit aja dari posisi, maka tongkat estafet bisa jatuh atau meleset, dan butuh waktu tambahan untuk memungut dan menyerahkan tongkat kembali, juga hal ini bisa memengaruhi tingkat konsentrasi dan efisiensi waktu
4. Koreksi bersama
Setelah bagian masing2 selesai, tibalah saatnya untuk mengoreksi bersama. Dalam hal ini masing2 nggak boleh egois dan harus siap mendiskusikan masukan dari partnernya. Beri perhatian yang lebih pada titik pertemuan antar bab agar tidak terjadi lompatan or kesenjangan yang terasa mengganggu.

Mohon doa teman-teman semoga ‘PING: A Message from Borneo’ bisa tersampaikan dan menggugah hati para pembacanya kelak. Amin.

Senin, 10 September 2012

Ping bukan PING: Aida MA penulis Mr. Kym

Pernah dengar istilah PING lalu disertai dengan getaran di ujungnya pada program panggilan di sebuah merk SmartPhone terkenal?. Rasanya semua orang mengenali istilah PING ini, namun istilah PING dalam Novel “Ping, a message From Borneo” ini bukan sama sekali membicarakan tentang smartphone, walaupun setelah kata PING dilanjutkan dengan kalimat a message (sebuah pesan).  Istilah Ping yang dimaksudkan di sini adalah nama anak orangutan yang menjadi salah satu tokoh fabel dalam Novel remaja hasil kolaborasi unik Riawani Elyta dan Shabrina WS yang dinobatkan sebagai juara pertama event Novel Bentang Belia awal tahun ini.
            Unik, mungkin itu kesan pertama kali yang akan kita temukan ketika memegang Novel ini. Unik karena ditulis oleh dua orang dengan porsi mereka masing-masing, apalagi Bentang menuliskan di bagian belakang cover bahwa kedua penulis ini tidak pernah bertatap muka sama sekali bahkan ketika novel ini sudah diterbitkan. Unik yang kedua, yaitu dari sisi tema, rasanya sangat jarang ditemukan Novel remaja fiksi yang bertemakan tentang pelestarian satwa langka, namun dua keunikan inilah yang bisa kita temukan pertama kali begitu membaca novel ini.

Minggu, 09 September 2012

SekePING! Harap untuk Karro di Tanah Borneo: Ibnu Ar

Ping! Sekeping nurani terjerembab di antara lubang-lubang keresahan. Api mulai menjalar membakar hutan pertiwi, mengeraskan hati, menggersangkan jiwa. Kulihat pongo pygmaeus berlari dalam kepanikan. Berteriak-teriak, dengan suara lengkingan yang sungguh menyayat hati. Tempat tinggalnya terampas api. Lalu sebagian dari mereka terbantai dengan leher terpenggal. Darah mengucur, berceceran mengguratkan tulisan nestapa bernama tragedi. Masih kuingat jelas wajah-wajahnya di televisi. Wajah resah, yang kini tanpa nyawa.
Ping! Sekeping geram menggelegak ketika sebagian fakta kita ketahui, pelakunya ternyata bukanlah dari negeri sendiri. Mungkin, ada pula oknum-oknum tak kasat mata, yang demi kepentingan materi rela menggadaikan nasib bangsa sendiri untuk kepentingan pribadi. Lalu, ketika pelaku tertangkap, digiring di meja pesakitan. Ah, tiba-tiba geram semakin memuncak manakala mengetahui, pelakunya hanya dihukum “ringan” atas kejahatan “berat” yang mereka lakukan. Rasanya ingin berteriak, “Pak Hakim, anda salah memvonis!”, tapi suara itu hanya tertahan di kerongkonganku sendiri.

Sabtu, 08 September 2012

PING! Pesan Luka Dari Tanah Borneo: Yazmin Aisyah

Meski belum sepenuhnya kupahami, aku mengerti bagimana harus menamai jejak-jejak itu :
luka. (hlm 2)


Luka… luka… luka… ternyata bukan hanya makhluk bernama manusia saja yang bisa merasakan luka. Luka batin yang bahkan lebih luka daripada hanya sekedar goresan. Di tanah tercintanya itu, Ping merasakannya, menularkan padaku lewat lembaran kertas bertinta. Aku merasakannya, bahkan hanya dengan membayangkannya saja, ada yang terasa melelah di sini, hati.

Petualangan Molly bersama dua sahabatnya, Nick dan Andrea ke tanah Borneo mempertemukan mereka. Ping yang dengan terpaksa menerima Karro sebagai nama barunya, ternyata menyimpan luka itu dalam memorinya. Terpenjara di dalam keseluruhan bayangan peristiwa yang ia saksikan sendiri. Membuatnya menjadi begitu

PING di Kalimantan Barat


Ini foto PING di rumahnya mas Paulinus di Kalbar. Mas Paulinus ini juga bekerja untuk orangutan. Katanya sih udah bertahun-tahun. Kalau yang pengen ngikutin jejaknya bisa ikut COP: www.http://www.orangutanprotection.com