Di zaman teknologi sekarang ini, ping boleh jadi diartikan sebagai
sebuah alert bagi para pengguna smartphone Blackberry. Lantas, apakah
novel dengan judul Ping! a Message From Borneo ini mengadaptasi bunyi
ping pada Blackberry Messenger? Entah. Yang pasti, duo penulis peraih
juara pertama lomba novel 30 Hari 30 Buku Bentang Belia ini memang
berhasil memberikan peringatan tentang konservasi alam dan satwa langka
melalui bacaan ringan khas remaja ini.
Berkisah tentang dua tokoh
utama, Ping dan Molly, yang dipertemukan dalam sebuah kawasan
konservasi orangutan di Samboja, Kalimantan Timur. Ping adalah orangutan
yang harus berpisah dengan ibunya setelah tembakan pemburu liar
bertubi-tubi mengenai tubuh sang bunda. Ping kemudian diselamatkan Jong
dan memulai kehidupan baru bersama Jong dan ibunya. Ping memanggilnya
Ibu.
Sayang, belum sempat ia bangkit dari kesedihan sepeninggal
perpisahannya dengan sang bunda, Ping harus kembali mengukir luka
setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ibu, orangutan yang
menyayanginya seperti anaknya sendiri, terkapar tak berdaya. Ping
sendiri yang berusaha menolong Ibu justru ikut terkena perangkap para
pemburu liar. Ping dimasukkan ke kardus dengan lubang udara yang sempit.
Ia siap dijual.
Ping yang selamat dari upaya jual beli satwa
langka kemudian dibawa ke Samboja. Di sanalah, untuk pertama kalinya, ia
bertemu Molly, Si Mata Bening yang memiliki ketertarikan yang tinggi
pada kegiatan konservasi alam dan tulis menulis. Bersama Nick dan Andy,
dua bule yang memiliki minat yang sama dengan Molly, mereka belajar
banyak hal tentang keberadaan orangutan yang kian terancam akibat
semakin sempitnya hutan tempat orangutan tinggal. Dan menjadi kian rumit
karena masyarakat lebih menyukai hutan tersebut diubah menjadi lahan
kelapa sawit yang secara instan lebih memiliki nilai jual.
Apakah
Ping mampu mengatasi depresinya yang berkepanjangan? Akankah Molly,
dengan sumbangan tulisannya, juga mampu menggugah orang lain, termasuk
Archie sahabatnya, untuk lebih aware terhadap nasib hutan dan orangutan
di Kalimantan?
189 halaman novel ini memang terlalu sedikit untuk
memperdalam konflik yang terjalin di dalamnya. Seberapa pentingnya
melestarikan orangutan, undang-undang apa yang melindungi satwa langka
tersebut, apa saja sangsi yang didapat para pemburu dan pembalak liar,
serta bagaimana masyarakat bisa turut serta berperan dalam konservasi
orangutan, mungkin hal tersebut dapat disertakan ke dalam konflik yang
ada.
Namun, secara umum, pesan dalam novel ini tersampaikan
dengan baik lewat penuturan yang seadanya dan apa adanya. Riawani Elyta
mampu membuat alur cerita Molly yang sederhana menjadi penuh kesan.
Ending-nya pun begitu manis. Shabrina WS sendiri yang dikenal piawai
dalam menulis cerita fabel memberikan sentuhan lembut pada karakter Ping
yang menyimpan segenggam luka.
Oh, saya menyukai bagian ketika
Ping menggambarkan kondisinya serta lingkungan sekitarnya sesuai dengan
nalar yang terasa dekat dengan kehidupan orangutan: rasa sepi yang
digambarkan seperti tertusuk duri-duri salak hutan (hal. 71), atau
rangkaian peristiwa yang dialaminya seperti sulur-sulur yang saling
berkaitan (hal. 126). Manis sekali.
Satu hal yang bagi saya agak
janggal -dan ini mungkin terlalu teknis- yaitu tentang Molly yang
membawa travel bag ke Kalimantan (hal. 35). Aneh. Karena dalam novel
ini, Molly digambarkan sebagai seseorang yang pernah aktif di LSM
Gerakan Penyelamatan Satwa Langka (GSPL). Setidaknya, ia tahu bahwa
ransel/backpack lebih cocok dibawa ke lapangan dibanding travel bag.
Oya, satu lagi, baru kali ini saya menemukan seseorang yang memakai
piyama sebagai pakaian tidurnya saat berada di basecamp (hal. 80). Rapi
banget ^^v
Terakhir, salut untuk misi yang dibawa oleh dua
penulis yang tak pernah bersitatap secara langsung ini. Sejujurnya, saya
merinding sejak pertama kali membaca ucapak terima kasih di halaman
pembuka novel tersebut. Betapa upaya konservasi alam dan satwa langka
sesungguhnya dapat dilakukan oleh siapa saja dengan metode apapun. Meski
mereka bukan lulusan Biologi, meski tak pernah sekalipun menjejak
Kalimantan -ah, saya sungguh tertohok pada bagian ini-.
Seperti
segmentasi yang memang diharapkan di awal, semoga buku ini memang
menjadi bacaan yang mengesankan bagi remaja-remaja di penjuru Indonesia.
Hingga membuka kembali ruang-ruang berpikir mereka, agar tak melulu
membahas cinta, boyband, atau sekadar menari a la Gangnam Style.
Atau bisa juga lihat di sini ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar