Selasa, 23 Oktober 2012

Pemenang Resensi PING: Sari Yulianti

Di zaman teknologi sekarang ini, ping boleh jadi diartikan sebagai sebuah alert bagi para pengguna smartphone Blackberry. Lantas, apakah novel dengan judul Ping! a Message From Borneo ini mengadaptasi bunyi ping pada Blackberry Messenger? Entah. Yang pasti, duo penulis peraih juara pertama lomba novel 30 Hari 30 Buku Bentang Belia ini memang berhasil memberikan peringatan tentang konservasi alam dan satwa langka melalui bacaan ringan khas remaja ini.

Berkisah tentang dua tokoh utama, Ping dan Molly, yang dipertemukan dalam sebuah kawasan konservasi orangutan di Samboja, Kalimantan Timur. Ping adalah orangutan yang harus berpisah dengan ibunya setelah tembakan pemburu liar bertubi-tubi mengenai tubuh sang bunda. Ping kemudian diselamatkan Jong dan memulai kehidupan baru bersama Jong dan ibunya. Ping memanggilnya Ibu.

Sayang, belum sempat ia bangkit dari kesedihan sepeninggal perpisahannya dengan sang bunda, Ping harus kembali mengukir luka setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ibu, orangutan yang menyayanginya seperti anaknya sendiri, terkapar tak berdaya. Ping sendiri yang berusaha menolong Ibu justru ikut terkena perangkap para pemburu liar. Ping dimasukkan ke kardus dengan lubang udara yang sempit. Ia siap dijual.

Ping yang selamat dari upaya jual beli satwa langka kemudian dibawa ke Samboja. Di sanalah, untuk pertama kalinya, ia bertemu Molly, Si Mata Bening yang memiliki ketertarikan yang tinggi pada kegiatan konservasi alam dan tulis menulis. Bersama Nick dan Andy, dua bule yang memiliki minat yang sama dengan Molly, mereka belajar banyak hal tentang keberadaan orangutan yang kian terancam akibat semakin sempitnya hutan tempat orangutan tinggal. Dan menjadi kian rumit karena masyarakat lebih menyukai hutan tersebut diubah menjadi lahan kelapa sawit yang secara instan lebih memiliki nilai jual.

Apakah Ping mampu mengatasi depresinya yang berkepanjangan? Akankah Molly, dengan sumbangan tulisannya, juga mampu menggugah orang lain, termasuk Archie sahabatnya, untuk lebih aware terhadap nasib hutan dan orangutan di Kalimantan?

189 halaman novel ini memang terlalu sedikit untuk memperdalam konflik yang terjalin di dalamnya. Seberapa pentingnya melestarikan orangutan, undang-undang apa yang melindungi satwa langka tersebut, apa saja sangsi yang didapat para pemburu dan pembalak liar, serta bagaimana masyarakat bisa turut serta berperan dalam konservasi orangutan, mungkin hal tersebut dapat disertakan ke dalam konflik yang ada.

Namun, secara umum, pesan dalam novel ini tersampaikan dengan baik lewat penuturan yang seadanya dan apa adanya. Riawani Elyta mampu membuat alur cerita Molly yang sederhana menjadi penuh kesan. Ending-nya pun begitu manis. Shabrina WS sendiri yang dikenal piawai dalam menulis cerita fabel memberikan sentuhan lembut pada karakter Ping yang menyimpan segenggam luka.

Oh, saya menyukai bagian ketika Ping menggambarkan kondisinya serta lingkungan sekitarnya sesuai dengan nalar yang terasa dekat dengan kehidupan orangutan: rasa sepi yang digambarkan seperti tertusuk duri-duri salak hutan (hal. 71), atau rangkaian peristiwa yang dialaminya seperti sulur-sulur yang saling berkaitan (hal. 126). Manis sekali.

Satu hal yang bagi saya agak janggal -dan ini mungkin terlalu teknis- yaitu tentang Molly yang membawa travel bag ke Kalimantan (hal. 35). Aneh. Karena dalam novel ini, Molly digambarkan sebagai seseorang yang pernah aktif di LSM Gerakan Penyelamatan Satwa Langka (GSPL). Setidaknya, ia tahu bahwa ransel/backpack lebih cocok dibawa ke lapangan dibanding travel bag. Oya, satu lagi, baru kali ini saya menemukan seseorang yang memakai piyama sebagai pakaian tidurnya saat berada di basecamp (hal. 80). Rapi banget ^^v

Terakhir, salut untuk misi yang dibawa oleh dua penulis yang tak pernah bersitatap secara langsung ini. Sejujurnya, saya merinding sejak pertama kali membaca ucapak terima kasih di halaman pembuka novel tersebut. Betapa upaya konservasi alam dan satwa langka sesungguhnya dapat dilakukan oleh siapa saja dengan metode apapun. Meski mereka bukan lulusan Biologi, meski tak pernah sekalipun menjejak Kalimantan -ah, saya sungguh tertohok pada bagian ini-.

Seperti segmentasi yang memang diharapkan di awal, semoga buku ini memang menjadi bacaan yang mengesankan bagi remaja-remaja di penjuru Indonesia. Hingga membuka kembali ruang-ruang berpikir mereka, agar tak melulu membahas cinta, boyband, atau sekadar menari a la Gangnam Style.

Atau bisa juga lihat di sini ya :)

Tidak ada komentar: