Meski belum sepenuhnya kupahami, aku mengerti bagimana harus menamai
jejak-jejak itu :
luka. (hlm 2)
Luka… luka… luka… ternyata bukan hanya makhluk bernama manusia saja yang bisa merasakan luka. Luka batin yang bahkan lebih luka daripada hanya sekedar goresan. Di tanah tercintanya itu, Ping merasakannya, menularkan padaku lewat lembaran kertas bertinta. Aku merasakannya, bahkan hanya dengan membayangkannya saja, ada yang terasa melelah di sini, hati.
Petualangan Molly bersama dua sahabatnya, Nick dan Andrea ke tanah Borneo mempertemukan mereka. Ping yang dengan terpaksa menerima Karro sebagai nama barunya, ternyata menyimpan luka itu dalam memorinya. Terpenjara di dalam keseluruhan bayangan peristiwa yang ia saksikan sendiri. Membuatnya menjadi begitu
berbeda. Ya, siapa pula yang tak kan terguncang jika menyaksikan Ibu
tercinta mati di depan matanya sendiri. Ibu yang telah melahirkan, menyusui dan
mengajarinya mencintai alam, tempat di mana hidup memberi mereka kebahagiaan.
Demi pembukaan lahan sawit, Ping terpaksa menyaksikan hutan tercintanya binasa,
kedua Ibunya diam tak bersuara, dan nasibnya sendiri, kini entah akan berakhir
dimana.luka. (hlm 2)
Luka… luka… luka… ternyata bukan hanya makhluk bernama manusia saja yang bisa merasakan luka. Luka batin yang bahkan lebih luka daripada hanya sekedar goresan. Di tanah tercintanya itu, Ping merasakannya, menularkan padaku lewat lembaran kertas bertinta. Aku merasakannya, bahkan hanya dengan membayangkannya saja, ada yang terasa melelah di sini, hati.
Petualangan Molly bersama dua sahabatnya, Nick dan Andrea ke tanah Borneo mempertemukan mereka. Ping yang dengan terpaksa menerima Karro sebagai nama barunya, ternyata menyimpan luka itu dalam memorinya. Terpenjara di dalam keseluruhan bayangan peristiwa yang ia saksikan sendiri. Membuatnya menjadi begitu
Sampai mata bening itu datang…
Dan sejak saat itu, aku selalu berharap dia akan kembali datang (hlm 105)
Dia, yang dari tatapan dan senyumnya, telah memberiku satu kekuatan yang membuatku kembali menemukan diriku yang dahulu meski tak mungkin utuh lagi (hlm 113)
Ping dan Molly, dua makhluk yang berbeda, tapi ditautkan oleh satu rasa. Cinta. Molly yang begitu mencintai alam jatuh hati pada Ping kecil yang masih membutuhkan kasih sayang, namun harus merasakan kehilangan bertubi-tubi. Dan Molly hadir meski sejenak dengan cinta yang memancar lewat mata beningnya. Akankah luka jiwa Ping tersembuhkan? Apa yang dilakukan Molly kemudian? Akankah ia menerima Archie menjadi kekasihnya? Archie yang notabene adalah anak pemilik perusahaan sawit, yang hutannya sejatinya adalah milik Ping. Temukan jawabannya dalam buku keren ini yaaa…
^_^
******
Pertama melihat covernya, aihhh lucu banget, remaja banget, dengan gambar empat orang remaja yang salah satunya menggendong anak orang utan. Eittsss, perlu diketahui sodara-sodara, Mbak Brin ini adalah pecinta binatang sejati. Mulai dari kucing yang imut, komodo yang ganteng (:P) sampe orangutan yang manis (:D). aku sengaja melewatkan dulu ucapan terimakasihnya, langsung ke bab 1. Beneran udah gak sabar. Membaca halaman pertama, aku tahu kalau bagian itu adalah tulisan Mbak Brin. kalimatnya khas banget : Bulan tua pucat di balik awan tipis (kalimat pertama). Apalagi itu ditulis dari sisi si Ping-nya. Membaca kalimat berikutnya, aku mulai terhanyut akan keindahan bahasanya (cirri khas Mbak Brin banget) namun, membalik halaman, aku mulai tergetar oleh sesuatu, luka, yang dirasakan oleh Ping.
Menulis novel duet sungguh bukan hal mudah. Menyatukan dua kepala dalam satu ide tentu menunut kesabaran dan toleransi tingkat tinggi. Tak ada egoisme meski masing-masih tetap mempertahankan cirri khas tulisannya sendiri. Mbak Brin, dari sisi Ping, sang orang utan mungil, menyajikan tulisan yang mennghanyutkan, dan bias dipastikan tak hanya sekedar menulis, tapi juga meriset serta mengumpulkan banyak data agar tulisannya tak hanya menjadi sekedar fiksi semata. Sementara Mbak Riawani yang menulis dari sisi Molly, menyajikan tulisan yang lincah, bahasa yang segar khas remaja, namun tetap pada jalur etika yang diperbolehkan. Konflik tidak berpusat pada Molly dan kehidupan pribadinya, tapi dari Ping, yang kehilangn keluarga yang dicintainya. Tepat seperti tujuan utama novel ini : penyelamatan lingkungan. Sedikit mengganggu adalah waktu pertemuan Molly dengan Karro (Ping) yang tampak tak singkron. Pada Bab 6, Molly sudah bertemu dengan Ping, sementara pada Bab 7, Ping masih ada di hutan, menangisi kematian Ibu angkatnya. Hemm, apakah penulisnya punya maksud tersendiri menempatkan alur cerita yang demikian? Mungkin ada yang tidak tertangkap nalar saya, yuk, kita tunggu penjelasannya. Diluar itu : dua jempol untuk Ping!
The last but not least, setelah membaca bagian akhir, biodata penulis, saya kembali ke halaman depan dan membaca pengantar dan ucapan terimakasih dari dua penulis yang mengagumkan ini :
…. Serta Anda semua yang telah peduli dan menjaga karunia yang telah dititipkan Tuhan untuk kita (Shabrina W.S)
…. Menggugah awareness kita untuk tetap menjaga karunia, harta terindah yang kita miliki untuk kelangsungan hayati hingga ke anak cucu kelak. (Riawani Elyta)
Amazing!
Atau lihat juga di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar