Ah, diriku tak pandai meresensi sebuah buku. Belum pernah malah. Jadi,
jangan sebut ini sebuah resensi. Tapi anggap saja ini sebuah kesan yang
tergores dari seorang pembaca kepada buku yang baru saja selesai dibacanya....
(Ini kenapa jadi serius begini? Gak asyik ah.. hehe..)
Jadi, ketika buku berjudul "PING! MESSAGE FROM BORNEO" yang
bertanda tangan asli sang penulis sampai ke tangan, tanpa menunggu lama-lama,
kusikat halaman per halamannya.
Dan... ooohh... tidaaaakkkk.... aaaaaaahhhhhh....!!!! Ketika membuka halaman
awal, diriku seperti berkaca... karena ternyata ada gambar monyet disana...
#eeehhh??? haha.. Kemudian lanjut ke halaman ucapan terima kasih, ah nggak
seru.. karena nggak ada namaku... (ya eyalaahh... sapa elo???)
Memasuki bab pertama, terjadi hening yang cukup lama... Kalimat demi
kalimatnya membuatku terpaku. "Kita memang tidak tinggal di masa lalu,
tapi ada harta terindah yang kita bawa dari sana, yang bisa kita ceritakan
berulang-ulang sepanjang ruas jalan kita."
Duh... meleleh ga sih baca kalimat kaya gitu? Gak cukup sekali dibacanya.
Makin bolak-balik diresapin
kata-katanya, makin bikin merinding.Tapi itu belum
selesai. Sebagai penutup di bab I, ada kalimat lagi yang bikin mata
mirror-mirror alias berkaca-kaca:
"Ini sangat menyakitkan...," gumam ibuku sambil mengusap
matanya yang basah. Aku mengagguk, sepakat dengan ucapan Ibu, saat kurasakan
kepedihan yang sama, menggores jejak yang sama dalamnya di rongga batinku.
Meski belum sepenuhnya kupahami, aku mengerti bagaimana harus menamai
jejak-jejak itu: luka.
Owkeh, itu baru bab I yang ternyata si penulis "menjelma" menjadi
orang utan. Bab selanjutnya, si penulis kali ini kembali ke kodrat asal yaitu
sebagai manusia. Nah, yang unik, ternyata buku ini ditulis oleh dua orang yang
sama sekali belum pernah saling bertemu. Hanya berkenalan lewat jejaring sosial
dan kemudian berkolaborasi merangkai kalimat demi kalimat. Hebatnya, meski dari
dua kepala yang berbeda tapi mereka berhasil "mengawinkan" ide dan
gaya bahasa sehingga perpindahan cerita dari Mbak Shabrina yang
"menjadi" orang utan dan Mbak Riawani yang "menjelma"
menjadi remaja nggak terasa. Keren kan!!! Makanya nggak heran novel ini menjadi
pemenang 1 dari lomba novel 30 hari 30 buku yang diadain Bentang Belia, mengalahkan
lebih dari 500 naskah lainnya!!
Selain itu, Mbak Riawani secara ciamik bisa menceritakan tentang kisah
persahabatan dan masalah hati khas remaja yang mungkin telah puluhan tahun
ditinggalkannya... #eeehh?? Maaappp... hehe... Jadi, hal yang membuat aku suka
dengan novel ini adalah nggak melulu tentang cinta-cintaan... nggak pakai acara
galau-galauan... tapi disini mengedepankan masalah edukasi tentang pentingnya
menjaga lingkungan dan peduli pada satwa yang kini mulai langka. Tapi kerennya,
pembaca nggak dibikin bosan atau merasa digurui. Semuanya mengalir begitu saja
seperti tanpa disengaja. Apik.
Tapi sayangnya, menurutku endingnya terlalu cepat. Mungkin karena waktu
penulisan terbentur dengan waktu deadline yang mepet. Ah...
kesimpulannya, meski ringan, tapi ada "isi" yang berat yang ingin
disampaikan penulis kepada pembaca. Sebuah pesan, bahwa nasib keberlangsungan
lingkungan hidup ada di tangan kita.
So, jangan ragu kalau lihat buku ini nangkring di rak toko buku. Ambil
langsung dan bagikan ceritanya kepada orang di samping kanan-kiri kita. :D
Bisa juga di lihat di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar